lundi 2 février 2015

Kemah Buddhaya W.S.Rendra ditahun 1971 di Parangtritis, Jogyakarta

Hari ini 2 februari 2015, saya dari rumah Montreuil, Perancis, tekenang akan KEMAH BUDAYA nya WS Rendra ditahun 1970 an. "Camping Culture". Rendra, dengan Bengkel Teaternya, dalam kegelisahan mencipta, mencari, jalan berbudaya.
Menurut Bambang Isworo dari Tjelah Teater, tahun Camping Culture-nya Rendra, adalah tahun 1971, ingat mbah Roedjito yang mengilham pelajaran TOTEM di ParangTritis waktu itu, ada upacara mengumpat, satu seni membersih jiwa-sukma-raga gaya cah urakan bengkel Rendra.
Rendra waktu itu mencari GURU, mencari, mencari, mengerang, menguak, mengurak....lahirlah orang URAKAN BENGKEL TEATER. Dalam masa persiapan pementasan MACBETH Shakespeare, Rendra mencari guru persilatan, untuk menghidupkan adegan peperangan, di drama Macbeth itu, olah keprajuritan untuk para aktor Bengkel. Kostum Macbeth ketika pementasan di Jakarta hanya dengn celana blu-jean, surjan jawa, blankon dan tongkat. Setting nggak ada. Para aktor dengan tongkatnya menjadi setting istana, setting hutan Duncinan, .... peran tampil dengan loncat gulung badan, berguling, hop, bangkit, karakter hadir. !

Selebih mendalam pencarian Rendra waktu itu juga saya rasa pencarian jalan kebathinan, mencari pegangan sukma, diri sejati, bagaikan bima Ruci mencari didasar samudera, GURU SEJATInya,  gelisah sang sukma pencipta, mencari guru sejatinya, guru rohaninya. Ada olahan gerak nurani yang kita lakukan sering hingga jam 03 dini hari, kelanjutan dari meditasi. Mencari, menemu guru sejati yang bermukim didiri, dilubuk sukma.

Camping Culture, Kemah Budaya mengajak puluhan muda mudi yang bersemangat, termasuk didalamnya waktu itu para muda muda yang telah dilanda narkotika, ikut dalam jalan ziarahan semalam suntuk dari Jogya hingga pantai Parang Tritis, sekitar 27 km jalan kaki semalam penuh, sampai dipantai menyongsong Mata-Hari terbit.  Saya ingat mas Willy memberikan saya tugas harus berjalan paling belakang, untuk mengawasi menjaga agar tak ada orang yang tertinggal dibelakang, karena olah para muda narkotika itu tak bisa diterka, tak mudah dikendali/diatur. " WWgahh, semau gué", katanya.

ini gambar dibawah, terima kasih pada Bambang Isworo Tjelah Teater, konon yang jepret photonya si besar Untung Senobroto almarhum, matur nuwun.:
MINI KATA RAMBATE RATE RATA 
di Parang Tritis Camping culture Bengkel Rendra
(kenangan pada pak AMAT yang maha dermawan dan senyum selalu tanpa gigi)




bawah ini Baca sajak di ITB, tahun berapa ya?,
ah ingat baju hitam saya .... masa muda nan indah manis, pertemanan mengkeluarga di Jogya, 
baca sajak di Campus ITB 1973. + Mastodon dan Burung Kondor.
si Burung Merak mengodjah langit, meluap lahar .... ahh masa remaja nan perkasa, jangan disia-sia.
ada saatnya bintang berekor lewat, seni mengekor sementara, menemu diri, bebas mejayang mengorbit.... marga sendiri ...mandiri 

Saya terkait di Bengkel Teater, karena Rendra meminta saya untuk memperkenalkan pernafasan Bali, yang pada masa itu, masa Universitas Gajah Mada saya dan masa ASDRAFI (Akademi seni drama dan film Indonesia di Ngasem), saya menekuni Yoga dari Swami Shivananda, praktek sehari-hari di rumah kos an saya di Pengok PNKA F20, menumpang dirumahnya Bapak dan ibu Daniel. Bapak Ibu Daniel mengangkat seorang anak laki remaja, dari keluarga bu Daniel ...(maaf lupa namanya).
Praktek yoga saya terkadang dilintasi oleh waktu puasa, me"tapa-berata",  tergantung pada perkembangan bulan dan hari.

Diwaktu itu suasana Jogyakarta sangat santai, kemanusiaan dimuka dunia, zaman itu baru melewati masa Hippy, ditahun 1964 an, arus musik Pop The Beatles, Hey Jude,  Koes Bersaudara: Awan Putih, Ke Jakarta,   flowers in hands of gentle people San Francisco nya Scott McKenzie, zaman berbau pencarian GURU marga damai, Love and Peace. Lagu seperti ini back to New Orleans, dan ini  A Whiter Shade Of Pale - Procol Harum, dan mimpi mimpi perdamaian setengah abad yang lalu, bayangkan: Imagine nya Joh Lennon, , Simon and Garfunkel 
... adalah lagu lagu yang membawa ciri, mood, iklim, watak sebuah zaman, setelah melewati perang dunia kedua, jaman pemngURAKan marga perdamaian love and peace, merindukan persaudaraan se dunia, brotherhood of mankind,
Semoga diwaktu mendatang mensiklus udara santai yang telah digetari oleh para penyanyi pop kita dimasa 1960 an: Rahmat Kartolo , Patah Hati, Tety Kadi, Teringat Selalu,  Lilies Suryani Gang Kelinci  Begadang Rhoma Irama 
Tidak dilupakan pengukir kelestarian iklim santai langgam keroncong seperti Yen ing Tawang, Waldjinah , Bengawan Solo nya Gesang,  ...

 Yoga Asana dan meditasi saya latih setiap hari, dari jam 04:00-09:00 terkadang kelewatan hingga jam 10:00 pagi. Begitu berlangsung secara tekun dan merasuk mendalam selama beberapa bulan. Dengan puasa makan nasi dan sayur saja, badan terasa menjernih, hingga terkadang terasa sandi sandi wewarahan apa yang akan terjadi diwaktu mendatang.

Pada masa saya mencari "sesuatu penuntun bercahaya" itulah saya mengikuti teater nya Putu Wijaya. Putu (Wid, panggilannya) Wijaya yang bergabung dengan Rendra, mementaskan Mini Kata seperti Bip Bop, dll. Para aktornya antara lain: Moortri Purnomo, Amak Baldjun, Mamang, Azwar, .... Musik Pop Amerika yang dihisap oleh para Hippy waktu itu, para turis berrambut gondrong, sangat à la mode, membanjiri Bali, Jawa, dan waktu itu Rendra membawa piringa hitam musik pop/rock, dari Amerika, yang kami gunakan di Bengkel untuk pemanasan Gerak Indah made in Bengkel teater.

 Berkat ketekunan dan ke"canduan" saya berlatih Yoga, dan berkat warisan leluhur Bali saya, Rendra menggait saya via Putu Wijaya. Maka mereduplah aktivitas pembelajaran saya di Universitas Gajah Mada Jurusan Tehnik yang saya awali masuknya ditahun 1964, telah tercabang jalannya dengan kuliah sore hari saya di ASDRAFI Ngasem, disatu pendopo utara-barat keraton Jogya. Penyeléwéngan rencana sekolah menyingkirkan saya dari nasib menjadi insinyur GAMA, tentu sangat mengecewakan bagi orang tua saya, yang kenyataannya Bengkel Rendralah yang memberikan penghasilan berupa uang dengan pementasannya di Jakarta dan Jogya. Saya ikut karya Rendra pertama adalah Qasidah al Bardjandji, penari dengan rebana, pembaca puisi, Macbeth (peran Macbeth), Hamlet (peran Claudius ayah Hamlet/Rendra), Oedipus Raja (peran Teresias pendeta buta, penujum), Pangeran Homburg, Mastodon dan Burung Kondor (peran Mastodon/Jendral Max Carlos)  drama akhir saya dalam grup Bengkel.

Bagaimana dari study keinsinyuran loncat ke ASDRAFI lalu ke Putu Wijaya, Rendra, Sardono, Peter Brook, ..... Tribuana ?
Nah,
Gara-garanya saya menjadi pemuda gelisah-pencari "sesuatu", adalah suatu hari kuliah di Bulak Sumur, kepetuk dengan dosen di GAMA (Gajah Mada) yang pintar, tapi watak tidak bijaksana, tidak berlaku sopan sesantunnya seorang "pendeta yang alim" yang patut dicontoh tauladnnya, wataknya. Maka kepala saya yang digondrongi idé-idé, angan-angan, mimpi-mimpi, memancur lentera renungan:" apa gunanya pintar pintar dengan kelukuan/watak seperti itu yang tak terhormat?" Mulai saat itu, saya menekuni Yoga, yang diturunkan oleh Bapak saya I Gede Madera yang mempraktekkan Yoga Asananya Swami Shivananda di Bali dengan pak Patra, dll. ( toko buku Balimas); Bapak saya bekerja di kantor Pendidikan Jasmani Denpasar, menyusun senam pagi untuk sekolah rakyat di Bali. Dalam pencarian dan pengolah diri sendiri, terkadang saya mengadakan meditasi nyepi, jalan sendiri, dijalanan kota Jogya, malam hari.

Tempat tinggal kos waktu itu, di Pengok PNKA F20, Perumaha pegawai Kereta Api, cuma 2 kamar; satu kamar barangkali 4 meter persegi, dengan beranda dikurung untuk dapur + kamar tamu, Saya sewa berdua, terkadang bertiga, sedangkan nyonya-tuan rumah, ibu bapa Daniel, tinggal dibelakang kamar sama luasnya, anak angkatnya didapur kecil disamping kamar mandi & w.c. Satu ketika teman kos saya, teman sepengolahan saya waktu itu adalah seorang pendekar buntung (satu tangan) :Budi Satria Suyoso,yang merangkap tukang lighting Teater Putu Wijaya di Jogya, Budi kuliah di Fakultas Hukum Gajah Mada, sama dengan Putu Wijaya,  diselatan alun-alun keraton Jogya. Dengan Budi Satria saya menghabiskan separuh uang sekolah dan kos kiriman ayah saya dari Bali untuk membeli komponen elektronik, membikin pemancar liar, yang waktu itu sangat mode-modenya. Pemancar kami bikin, solder, dengan barang luakan, di Pengok, sebagai tehnisi ahli Budi Satria. Pemancar Radio Amatir "Bahana Dewata", berpangkalan di Asrama Saraswati, jalam Mawar 10, Baciro, Jogya. Waktu itu sebagai penyiar pilihan lagu-lagu: Made Wuryana dari Tabanan, Bali, kuliah di fakultas Ekonomi Gajah Mada Bulak Sumur.
Demikianlah aktivitas saya, radio amatir, yoga, Bengkel Teater, nyepi, menghening marga diri, .... mencari, mencari.

Waktu itu anak-anak muda sedang tercandu oleh musik Pop, rock Barat, kebirit-birit, yang dilarang pemerintah, dan juga awal mengalirnya gandja, speed, narkotika tahun 1960an yang dibanding dengan tahun 2000 sekarang jauh lebih santai lebih "cool" dimasa itu. Bengkel Rendrapun menjadi magnit karismatik yang perkasa yang menarik para muda berdatangan dari Jakarta. Anak muda yang telah ternarkotika itu memerlukan saluran bayu-remajanya. Satu kegiatan. Bengkel juga sedang mencari "sesuatu" pemandu diri. Bengkel sering mengadakan malam ziarahan, malam pertapaan, semalam suntuk di kuburan Kota Gede, berjalan menyepi pulang pergi, sampai ada wartawan mengikuti pagi itu sepulang kita dari Kota Gede, bertanya " Mas Willy? Mas iki protés opo mas?" Kita terus berjalan nyepi, mas Willy tak menjawab, hanya baru sampai dirumah Ketanggungan Wetan, mas Willy menyahut. Mas Willy sebagai Guru, telah memuridkan dirinya dengan SANG KALA, waktu, zaman, keadaan, tempat suci, tempat bertuah, bersama kami semua anggota Bengkel, Kami terus dalam hati resah geli-sah mencari menguak mengURAK marga marga sesuluhan bathin. Sendang Kasihan, kolam pesantren yang menyenang-mengasih bathin, sering kami datangi, misalnya untuk persiapan Macbeth, kami berziarah kesana selama beberapa hari berlatih disitu. Tiap anggota membawa tongkatnya masing-masing. Peran Macbeth diserah-percayakan kepada saya, dan lady Macbeth adalah Rahayu Effendi, actress film julukan bom-sex Indonesia dari Jakarta asal Sunda. Rendra :Sutradara. Robin Simandjuntak, producer dan aktor. Azwar: asisten sutradara yang melatih saya di Parangtritis bersama Mbak Rahayu. Itu gara gara, suatu malam, saya yang masih muda belum matang memainkan adegan mesra,  mentah dalam acting, tidak mampu melakukan adegan kemesraan seorang panglima perang raja Macbeth. Acting saya kenés bianget, Rendra nesu nesu membentak saya, melihat dengan mata tajam, jam 22 malam habis latihan, mas Willy berorator singkat tajam, seperti pukulan Pa Hong silat Bangau Puthi (kita sedang berlatih Silat dengan Max Palar waktu itu): "Pak (Tapa), kué céngéng banget Pa, kau harus mencari karaktermu, sang Macbeth, malam ini juga kau berjalan ke Parangtritis (27 km), sampai kau menemu karakter itu, hanya setelah penemuan mu kau boleh pulang balik, meneruskan latihan!" Suara mas Willy membentak, menggetar bagai gemuruh, terasa halilintar terpancar dari matanya, membelah sepenuh diri saya, lahir, bathin, bayu,. Saya tatap matanya, saya resapkan nada suaranya, terbau dibibirnya ada sekilas senyum cinta kasih seorang sutradara deklamator, matanya yang membelalak membakar bagai matahari, tapi terkilas selintas awan putih kalbu mata malam candra rembulan dihitam matanya, rasa-rasa menghening dihati saya.
Dalam hati kuucapkan: "nuwun mas Willy".
Kami seketika itu berangkat ke Parangtritis.

Putu Wijaya, memberikan saya ajara pengawal, ketika saya mau ikut main "drama" dengan dia berkata: "Pak, kalau kau mau jadi aktor, aktor memerlukan disiplin lebih dari disiplin militer".
Militer sakit, boleh nggak ikut tugas, perang, tapi kita actor, kalau sudah waktunya, biar sakit harus naik panggung kalau waktunya tiba. Benar. Sekarang renungan saya bertambah, bahwa militer melakukan instruksi, perintah (seperti Pemerintah kita, tahu memerintah, kata sebutan menentukan....). Sedang actor, yang memandu, mendalang didirinya adalah sang karakter, watak yang harus dimainkan, memainkan watak. Me dan Di , seni aktip pasip, mengosong dan mengisi didetik yang sama. Akan dan sudah menyatu mengada kini. Seni acting adalah seni olahan para pemangku di Bali, dari sanalah berpucuknya seni acting Tribuana dengan 27 mata pelajaran, yang saya jajakan, "perdagangkan" di perantauan saya diluar negeri. Tidak selalu mudah jalannya, karena sampai saat ini dengan paspor Indonesia  saya dapat banyak kesulitan untuk perge ke Inggris, syukur eropah telah membuka dan menyatu, visa dinegara Eropah tak diperlukan lagi.

Tentang pemain drama (saya lebih suka memakai kata pemain SANDI WARA), seorang peladen (servant) pemangku, penghidup watak, sang actor harus siap terbuka bersedia dimainkan dan memainkan watak perannya. Harap dibedakan kata bintang (star) dengan kata actor. Main atau pemain......  untuk hiburan, kesenangan? pemain sex?  Tahulah kemana menjerumusnya manusia kalau salah dibimbing/dipandu oleh kata pilihannya. Nama juga satu kata penentu dengan bayu-swaranya yang bisa membangkitkan tenaga gaib pemiliknya.

Sekedar untuk dijadikan bahan pertimbangan, nama saya: I Gede Sudana, kreasi/warisan orang tua saya, sebagai anak pertama dari 13 anak bapak (I Gede Madera) dan ibu Ni Made Nurani (8 anak). Itu nama dari 0- 25 tahun. Ketika saya akan ke Paris ditahun 1974, saya harus membuat paspor, nah disitu nama saya saya tambahkan (dengan ijin orang tua) menjadi I Gede Tapa Sudana. Saya telah menggunakan nama Tapa Sudana untuk pementasan Putu Wijaya dan Rendra di Jogya.

Apakah nama yang merubah nasib, atau nasib merubah nama? ha haaa, Pertanyaan sepert:" apa yang terdahulu datang? " Ayam atau telor?"

Nah actor banyak jenis, rupa, kriteria nilainya. Selebihnya aktor tak melakukan perintah secara manut menurut tanpa tanya dalam diskusi mental jiwa raga.

Sang aktor bersarana seni tafsir, seni mengerti menrARTi, seni kreasi, seni penciptaan.
Sang militer tak ada kreativitas mencipta dalam melakukan perintah atasannya. Disinilah Rendra dengan kaum Urakannya, mengarak semangat saya dan teman teman Bengkel, berkembang daya cipta, daya pikir, daya analisi, jiwa, raga, bayu, bathin ..... mengembang dari dalam, mencahaya, mengkarisma, bertaksu kata orang Bali..

Mas Willy, satu ketika, mengundang Wisnu Wardana ke Bengkel, kami dianugerahi lagu Sardulo Kawekas, yang syairnya, dari ingatan saya mengalir :"kang poro hap sari sapto ooo, samio ooo, yu kang warno ooo, Wimbuh, mondro kongaaassss, Gandess, luwes rarasss, prasodjo semu uu, niro ooo. Sréséh karyo bronto, tan onooo kang winaunaan."  Maaf, saya tulis dengan tuntunan lagu suara kata-kata. Ingatan menghidupi goresan pena pengalaman ditahun 1970, hmmm 45 tahun yang lalu? Mohon yang tahu, dikoreksi.

Untuk mendengar tembangnya, silahkan di klik lirik diatas.

 Mas Willy, karena kita telah berlatih silat, dan diresmikaan upacara 9 persaudaraan silat Bengkel, saksi Roedjito, Suhu Subur Rahardja, Max Palar: Rendra, Rendra, mbak Narti, djeng ndoro Sito, F.Suharno, Adi Kurdi, Untung Basuki, Edy, Ratmo (Suratmo), Tapa Sudana, (menurut ingatan saya saat ini di Montreui). Upacara dilakukan dengan mentata 9 onggokan batu, melingkar dipekarangan tetangganya ma Willy di Ketanggungan Wetan, tempat latihan kita, itu suatu fondasi rumah tetangga yang belum diteruskan, mogok biaya barangkali.

Menerus cerita, saya ke Parang Tritis, malam hari itu juga, jam 20:00 malam habis latihan, saya harus berjalan 27 km, sebab mas Willy tak membolehkan saya pakai sepeda atau andong (ah duitpun tak punya, kéré waktu itu), mencari, mengolah, menemukan watak sang Macbeth nya Shakespeare.  Umur baru 25 tahu, bayu semangat muda, tapi kurang pelajaran, (ha haa kurang ajaran sandiwara kehidupan bijaksana), dengan senang hati menjalanan "umpatan" mas Willy. Untukng ruginya saya diberikan seorang asisten, bapak Azwar,dan sudah tentu juga ikut waktu itu dalam mencari sang actris undangan dari Jakarta, bintang pélem terkenal dengan julukan ..... (baca diatas).

Mas Willy, memberikan peringatan ketat, tajam, mantep kepada saya dan Azwar : "Azwar, jaga dan rawat mbak Yayuk (sebutan sang aktris), awas, hati hati, kalian harus tidak mencelakakan, menoda, melukai, menggores kulit sang actress undangan kita ini, karena sebagai bintang pilem national terkenal, badannya adalah sarana yang sangat berharga (parameter penentu nilai).
Nah, maaf, saya tutup sementara disini, tentang training actor Bengkel Teater Rendra dalam mencari kedalaman watak perannya, saya akan tulis , mungkin, nanti, dihalaman special.

Kembali ke gagasan Kemah Budaya, adalah juga sejalan dengan sekolahan Rabindranath Tagore, bahwa guru itu ada di alam. ALAM memberi pengalaman. Pengalaman dengan perenungan iluminasi, pencerahan bathin nan hening murni, akan menghasil ilmu pengalaman, ilmu pengetahuan, mengerti hukum alam yang lebih utama dari segala hukum yang ada buatan manusia. Manusia telah menulis hukum adat, hukum negara, hukum desa, hukum agama, ....dll, tapi yang paling berat mendalam dibathin adalah hukum pribadi.

Untuk mengilustrasi guru alamiah, ada ceritanya pak Rusli, pelukis Indonesia yang saya ketemui di Jogya. Pak Rusli, pernah belajar di Santiniketan, di Asramnya R.Tagore, di India. Tagore mementaskan Ramayana, disekolah alaminya. Rusli waktu itu mendapat peran Kidjang Kencana yang diidam-idamkan oleh Sita. Pak Rusli bertanya, kepada gurunya: " Guru, boleh saya dapat pelajaran gerak tari kidjang Kencana itu?" Sang guru menunjuk dengan tangannya, itu lihat ada kijang liar, ikuti!".

Nah, tentang Kemah Budaya di Parang Tritis, telah mewarisi kepada marga Tribuana pelajaran ladang  n°19 dari olah marga pregina (actor) Tribuana berjudul: TOTEM TRIBUANA. Lahirnya mata kuliah Totem di Bengkel Rendra Parangtritis adalah berkat bimbingan Bapak, Mbah mpu Guru Haji Roedjito, yang ikut mengawal, memandu , berjalan di waktu Kemah Budaya Rendra waktu itu.
Kreasi setting pertama yang saya hidupi dipanggung karya Roedjito adalah di Qasidah Bardjandji nya Rendra tahun 1969 (? 1970?) maaf, lupa tahunnya,. Roedjito menggunakan atap plastik yang mamatul dan menghisap cahaya. Fantastik !!! Mbah Roedjito saya rasa punya ilmu dan pengalaman dan seni expressi yang magis. Orangnya cool, kalem, karena mungkin hanya satu ginjalnya, pernah dioperasi. Mas Roedjito (sebutan kami waktu itu) menceritakan pengalamannya di Bali, di Sanur, dikeluarga Woworuntu, bahwa bila dia pulang malam, agar anjing tak menggonggongnya (tahulah, di Bali banyak anjing berkeliaran) dia memukul mukul, menyapu badannya dengan daun ...(lupa namanya) dengan demikian anjing tak mencium bau manusia, dia lantas nyaris berjalan dimalam kelam tanpa gongongan anjing. Selebihnya, memang orangnya kalem, super cool, selalu senyum, ramah, dan memangku.
Pelajaran Totem dari mas Roedjito itu saya kembangkan di Eropah dan Amerika Latin, dalam workshop Tribuana Way. Klick disini untuk melihat photo-photo TOTEM TRIBUANA  para peserta/ Tribuana participants.

Selebihnya presentasi dibulan purnama di Parangtritis, ini mimpi saya, Totem dari para peserta, secara pribadi atau secara group, atau secara kreasi dengan thema tertentu, akan disemarakkan dengan seni gamelan, musik dengan segala bunyi, suara benda atau manusia.... yang saya percaya, di setiap warga Indonesia yang Aneka warna suku, bahasa, tradisi, agama, dll. memiliki kandungan daya seni cipta, dengan kreativitasnya, sangat membanggakan hati saya selama 41 tahun penjelajahan diluar negeri. Ingin satu ketika saya bisa mengembalikan bhakti dharma saya kepada negara kelahiran saya.

Seniman adalah mereka yang mampu membangkitkan roh/ jiwa/hidup/spirit yang ada di benda, di topeng, di kostum. Sebelumnya actor actris interpreter, penterjemah, adalah mereka yang membangkitkan kehidupan dari huruf huruf yang tidur dikertas, di buku. Pendeklamator, adalah mereka yang tahu segerapa harus memberi tenaga suara, acting badan. Bila berlebihan, pendeklamator bisa membunuh kata. ha haaa, hmmm; kalau saja kita mampu membunuh kata, paming-paming kita harus sadar, kata, SANG KATA bagai SANG KALA mampu mengutuk actor/actris pengucapnya.

Dari pelajaran Topeng yang saya terima dari pak Pugra, Made Djimat (ketika berkarya bersama di Nice ditahun 1976 atau 1978, sebelum mengenakan topeng dimuka, sang aktor harus minta ijin, permisi, agar dia tak dapat kutukan dari roh yang bermukim di topeng itu. Dengan dasar inilah kita harus mengerti, arti, bayu sebuah KATA, karena kata yang telah diucapkan tak bisa diralat lagi, bagaikan panah Pasupati nya Arjuna, bila telah dilepas, pasti mengena sasaran. Bila tidak, sudah tentu yang pertama merasa sentuhan bayu magis KATA adalah : pengucapnya.  Dari sini berkembang etika seorang aktor. Ini akan saya kembangkan di babak special acting.

Tentang acara, atau jenis seni cipta yang bisa diolah di Kemah Budaya itu, akan saya tulis kemudian lebih lanjut, atau, saya membayangkan dengan pasti dan yakin, idé idé akan menjamur di daya kreativitas para muda sekarang, mudi-muda Indonesia Nusantara; dengan demikian saya tak usah menonjolkan ide saya, tapi pasti akan muncul pucuk yang dicintai generasi remaja.

Pemandu, sutradara bertugas membangkitkan bakat pendaman yang belum terlahir di actor, aktris, aksesori (peralatan SandiWara lainnya). Semoga generasi sekarang tak picik pandang tentang "seni berhala", seni atau tradisi yang percaya akan adanya roh kehidupan di benda, permata, pepohonan, binatang, topeng, .....l'acteurs sont venu pour réveiller la matière qui dort.  Actor comes to awaken the sleeping matter. Penyandiwara tampil untuk menghidupkan benda mati/ huruf mati.

 Pantai Parangtritis , yang kurindu, semoga perayaan KEMAH BUDAYA menunggu, mengada satu ketika. Pernah kulontarkan niat, disebuah makam dibukit kecil disana, niat, mendoa agar saya bisa terlontar mengorbit antar negara, yang akhirnya .... ternyata terjadi pelaksanaannya, nasib membawa saya ke Paris, keliling Eropah, dengan sandiwara "Dongeng Dirah" Sardono W Kusumo. 1974, february. musim salju, pertama kali melihat es turun dari langit bagaikan kapas ringan melayang.
Terima kasih juga pada Jacques LANG, mantan Menteri Kebudayaan, Menteri Pendidikan Perancis, yang menambahkan jumlah rombongan Sardono, hingga saya tersangkut didalamnya.
 Ingatan dan hormat pada seorang bapak Amat, berpondok kecil, kami sering datang dan menyewa pondoknya, pak Amat memasak nasi, balé balé dan tikar tempat tidurnya, diserahkan untuk para tamu yang datang sarasehan, meditasi, nyepi disitu.
 Waktu itu di Pantai Parangtritis belum ada banyak warung, hanya beberapa, meladeni  mereka yang nyepi-meditasi (hmm, maaf, lupa istilah jawanya, .... meditasi, berziarah, ...)

hormat pada keluarga WS RENDRA
salam sejahtera untuk semua, kangeeeennnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
dimanakah kalian sekarang? 
tak perlu susah kucari, yang ada dihati,
tak pernah mati,
kemsraan kasih sayang mengabadi
kini.



akan bersambung dan berkembang.