lundi 24 novembre 2014

Topeng Bali, I Gede Tapa Sudana & Mas Soegeng, Penasar, Punta Kartala



artikel ini berkembang dari waktu ke waktu, bila ingatan menang menjadi kenyataan, ....saya akan merabuk menyiram mencocok-tanam tulisan ini

Kenangan masa muda, ditahun 1980 an, dengan gamelan Ambasad Indonesia di Paris pimpinan bapak Dewa Putra Diasa, saya dengan Soegeng (Mas Soegeng) memainkan duet Punta Kartala sejak tahun 1975, dalam angkutan grup kecil kami: teater-tari-topeng PATRA: I Made Netra, Soegeng, I Gede Tapa Sudana, Jacques Fassola, Dewi (istri Netra). Memang anggota awalnya ada penari I Made Netra, aktor Tapa Sudana, dan seni rupa serba bisa Soegeng,  dan Jacques Fassola sebagai sopir, manager, pemain musik, guide, penampung pengembara kita keliling di Eropah dan Tunisia (festival Tabarka 1976, hmmm sekitar itu).

Terima kasih pada bapak Sardono W Kusumo yang melontarkan kita di orbit international via roketnya: "La Sorcière de Dirah" (Dongeng dari Dirah), tour keliling Eropah hingga festival Siraz di Irania ditahun 1974. Nyaris bergaya, meski tak tahu bahasa Perancis, thanks to Jacques Fassola our guide multi task, kami meneruskan dengan topeng Bali, tari, teater, musik .....yang rupanya secara tidak sadar ditahun itu, seni topeng sangat à la mode. Sudah tentunya Teater du Soleil d'Ariane Mnouchkine ingin melihat topeng topeng kita (grup Sardono waktu itu ada 30 orang, termasuk 4 anak Bali diantarannya Rina (chak Rina, Teges) umur sekita 10 tahunan). Aktor teater du Soleil datang melihat kita di teater Gaîte Lyrique, metro Reaumur Sebastopol, siang hari sewaktu tak ada pertunjukkan. Mereka dengan lahap menyambar topeng topeng yang kita bawa untuk Dongeng Dirah; hmmm, perasaan "angker" saya telah tertikam, tergores, aduhhh, sakit, melihat aktor mengenakan topeng dimukanya, dengan gerakan akrobasi, jungkir balik. Seni gerak barat (Eropah dan Amerika baru) mengolah dari gerak badan akrobatik untuk menghidupi roh yang ada di topeng. Sedangkan menurut asal dan pandangan serta pendapatan saya sebagai orang Bali, dan kandungan "seni olah budaya" kebanyakan orang Indonesia yang masih berbau Animis percaya akan kekuatan gaib di benda, tentu saya merasa aneh, aiiiii, kok gitu ya?!? seperti kurang menghormati. Orang Bali memangku kepala sebagai tempat yang suci yang tak pantas dilangkahi, seperti juga patung, arca singgasana roh yang menjiwai, taksu yang mencahaya kehadiran sang pregina (aktor), berwibawa, bercandra gaib "menakutkan" (ada rasa hormat, berbhakti, sujud, memelihara dengan rasa ....... dimana agama dengan kata "suci bertaksu sujud bhakti hormat" menuntun tingkah laku seorang aktor, pregina, orang yang berguna di kehidupan sebagai pencerita, pembangkit kesadaran, penerang sebagai guru memberi tauladan pelajaran hidup, sebagai "barometer/termometer masyarakat dan keadaan".

Ketika saya melihat pertunjukkan l'Age d'Or nya théâtre du Soleil waktu itu, sekarang saya menyadari bahwa marga pengolahan diri sebagai orang panggung/pertunjukkan/performancer ..... itu tergantung dari beberapa parameter, antara lain:



  1. tempat dan tanggal & jam, detik kelahiran
  2. orang tua pencipta dan tradisinya, agama, pendidikan, kepercayaan, lingkungan hidup masyarakat desanya, olahan hidupnya
  3. sekolahannya, dulu ketika sekolah belum ada maka ada perguruan, Asram, Padepokan, tempat mengaji anak anak.
  4. masa kanak kanak adalah juga masa penentu untuk mendalami seninya, expressinya dimasa datang.
  5. pekerjaan sehari harinya, alah bisa karena biasa. Ada unsur tradisi, upacara sehari hari sebagai unsur penentu.  (determinant element/parameter)
  6. wataknya, yang akan menentukan kesenangan, tingkah lakunya, dipanggung ataupun dikehidupan. Bila teater (ah, gantilah kata teater dengan sandiwara) ada butuh panggung, kehidupan adalah penerang cahya bathin sang aktor.
  7. iklim lingkungan sebagai katalisator yang sangat membantu dan juga bisa merubah arah, cara, tujuan dan referensi baik-buruk, iya-atau tidak.


Di Paris, senang dan bersyukur bisa melihat l'Age d'Or (dengan topeng Comedia del'Arte) nya teater du Soleil sutradara Ariane Mnouchkine di Cartoucherie de Vincennes, Mesure pour mesure nya Peter Brook di Bouffes du Nord.

Lima tahun kemudian rupanya saya dikaitkan dalam bahtera teater resetnya Peter Book untuk ikut mengkarya bersama "la Conference des Oiseaux" dari Mantik Ud din Attar (Persia) yang dianggap sebagai roh Sufisme.

Ah, haaaa, terkenang saya ketika pertama ikut mas Willy WS Rendra dengan Kasidah Bardjandji, saya menyanyi dan menari dengan rebana. Ingat dangan mas Syubah Asa yang mengajarkan saya mengucapkan "Bismillah .irrahman irrahim....." kalimat berwasiat agama Islam. Sebagai aktor pencari pe-pengembara, kalimat itu menggetarkan sukma bathin saya, lebih lebih dengan Rendra kita sering nyemi ketempat angker, Sendang Kasihan, Parang Tritis, Kuburan Kota Gede ..... rasa gaib yang saya warisi dari keluarga Pemangku dari nenek saya (Mangku Gede Pura Tambangan Badung) memberi getaran dan cahya magis, memainkan senar sympatik spirituil didiri saya, tambahan juga dengan olahanintensip menekun Yoga dan Meditasi (bertapa) di medan penggodogan lahir bathin budaya di Jogya, tinggal kost di Pengok PNKA F20 dengan bapak dan ibu Daniel, satu markas, pura, padepokan penggemblengan bathin budaya saya. Putu Wijaya telah menggodok saya dengan satu kalimat yang terus mendering bagai genta pendeta atau kukul banjar:" pak (maksudnya tapak), kalau kau mau main teater, orang teater itu punya disiplin lebih pekat, lebih tajam, lebih keras, lebih disiplin dari tentara".

Wah sujud suksma Wid (panggilan  Putu Wijaya dari saya , di grup teaternya: Mandiri, Jogya). Kalimat syahadat mantra gaibnya Putu Wijaya terucap begitu, menurut pengertian saya yang sekarang, adalah lahir karena kebutuhan, karena kematangan suasana, terlontar meminjam mulutnya sebagai speaker. Sikap dan seni menterjemah seperti inilah yang saya kembangkan di peserta workshop Tribuana di Eropah, Amerika latin, Tchad. Sikap aktor pemangku, acteur serviteur, actor servant, the one who serve a story, a mask, their costume/dress.

Dengan gaya memangku sesuatu yang lebih penting dari dirinya sendiri, maka dia mendapat galian ilmu yang datangnya gaib sekali. Dari mana? ha haa, segala yang tumbuh bukan datang, tapi muncul dari dalam. Segala yang diluar diri, telah ada photokopynya membayang, memetahora, melambang didiri sendiri.

Dua topeng Penasar yang mendasari pikiran pemain dan penonton untuk melihat, mendengar, menghisap sari sesajian, haturan, pertunjukkan, tontonan. Ahh, tradisi Bali lahir, tampak, ada tontonan bila ada upacara di Pura, upacara manusa yadnya, atau dewa yadnya, sebetulnya, juga sebagai sesajén untuk "mereka yang tak terlihat", orang bali bilang Dewa, Betara, Sang Hyang..... haurs dimengerti, mencapaian, pertunjukkan, penyembahan tidak harus berhenti di benda, di arca, di topeng, di karakter yang dimainkan, di'amin'kan, aman ..... hati tenteram sesudahnya.

Sekolahan saya di Universitas Gajah Mada saya tinggalkan ditahun ketiga.... uang kiriman bapak banyak digunakan membeli komponen electronik untuk Radio Amatir, Bahana Dewata di Asrama Saraswati jalan Mawar 10, Baciro, Ngayogjokartohadiningrat, dengan Budi Satria sebagai pahlawan insinyurnya. Kami berdua di Pengok PNKA F20, melahap malam hingga suntuk dengan solder ... ini berapa Ohm tahanannya, atau condensatornya berapa Farad, agaru arus nya ..berapa mili amper, per tekanan berapa volt ... dst.

Sementara ASDRAFI Ngasem di sore hari dengan Bulak Sumur atau Djetis dipagi hari untuk Fakultas Tehnik jurusan Mesin telah mencincang saya dengan dua pole, dua titik tarik penentu masa depan.

Yang terang nyata uang kiriman sering habis sebelum bulan habis. Duit pertama didapat dari main teater dengan Putu Wijaya di Jogya. Dan kemudian Rendra meminta saya untuk memperkenalkan pernafasan Bali, karena Putu Wijaya memberita di Bengkel bahwa Tapa menekunani Yoga tiap hari , pranayama, meditasi. Betul dalam masa beberapa bulan saya bangun jam 4-5 pagi untuk duduk, diam, asana yoga, hingga jam 9-10 pagi. Waktu itu sekolah: universitas Gajah Mada dan ASDRAFI, jadi cincangan, perbincangan, kemudian... Bengkela teater Rendra telah memberikan sesuatu pemenuh kepuasan rahir, bathi, budaya saya. Rendra dengan karismanya, taksunya.

Camping Culture Bengkel teater membawa puluhan anak muda, yang alim juga yang sedang mencandu ganja, speed, narkotik berjalan semalam suntuk, dari Jogya ke Parang Tritis, 30 kilometer. Mas Willy menugaskan saya harus menjaga garis belakang. Tak seorang pun boleh berjalan dibelakang Tapa. (nama resimi sekolahan kelahiran saya adalah I Gede Sudana, Tapa adalah anugerah teman pergaulan persaudaraan di Asrama Saraswati, yang saya cangkokkan di paspor pertama saya, ketika Sardono mengajak ikut ke Eropah, dengan minta setuju bapa I Gede Madera, sudah tentu hormat dan bhakti saya, sebagai anak tertua dari 13 anaknya)



Camping Culture Bengkel Rendra telah memberi saya banya bekal, yang buah dan kembangnya mengembang di workshop Tribuana di luar negeri, nantinya, nati sekali, harus sabar me-nanti.

Diantaranya, dari 27 ladang pengolahan Tribuana (mata pelajaran) adalah yang namanya TOTEM Tribuana, itu cerdik cipta mas Roedjito. Hormat, sujud pada mbah Roedjito yang sudah mengawang sekarang, berada dimana-mana, seperti Rendra, Pugra, Gerindem, Tempo, Madera, Siki, .... Michel Martin, Onuma Sensei, Peter Brook, Kalari Payat master, Mister Sakai ... Guru Shakuhachi saya di Tokyo, ...



Acteur serviteur, pregina pemangku, memangku cerita, mangku marga jagad kecil ke jagad raya, adalah jalanan  .... Tribuana